Rabu, 17 Maret 2021

 Part 1 (Alas Roban)

Aku terbangun dari tidur begitu bus yang kutumpangi tiba-tiba berhenti. Kupikir sudah sampai pada terminal pemberhentian, rupanya tidak. Dari jendela bus nampak rerimbunan pohon. Nalarku langsung saja mengatakan ini ada di jalur Tengkorak, jalur menuju daerah Pekalongan yang melewati hutan alas roban. 

Pukul 01.00. ponselku bergetar. Waktu berangkat tadi aku memang menyalakan alarm tengah malam. Ada pertandingan el clasico, Barca dan Madrid. Tapi sepertinya tidak akan bisa kutonton. Tak ada sinyal ternyata. Wajar, melewati daerah hutan memang akan seperti ini.

Kondisi bus masih sunyi. Para penumpang memang sudah tertidur sejak supir mematikan lampu di dalam bus, mungkin sekitar tiga jam lalu. Tak ada yang sadar sepertinya kalau bus ini berhenti tiba- tiba.

“Kenapa, Pak, busnya?” Aku turun, berjalan ke arah supir yang tengah memeriksa ban depan.

“Ban bocor kaya e, Mas.” ucap pak supir yang sibuk mengambil dongkraknya.

“Waduh! Ban serepnya malah ketinggalan!” Pak supir menatap ke arahku, “Gimana ya, Mas?” Jelas sekali nampak raut khawatir di wajahnya itu. Bahkan dengan udara sedingin ini beliau bisa berkeringat sampai-sampai bagian dada kaos yang dipakai basah kuyup.

“Bapak nyupir sendiri? Ndak bawa rekan, Pak?” tanyaku, sebab biasanya supir seperti beliau dalam sekali perjalanan pasti membawa rekan untuk menggantikannya ketika lelah saat menyetir.

“Si, Anton ndak bisa ikut. Dia bilang istrinya mau melahirkan.” jawab pak supir yang kemudian dilanjutkan dengan umpatan-umpatan kecil kepada si-Anton yang entah siapa itu.

Aku diam sejenak, berpikir. Menelpon bantuan atau bengkel tentu saja tidak mungkin. Di sini tidak ada sinyal. Mendorong bus? Bahkan jika seluruh penumpang ikut mendorong, aku yakin bus dengan ukuran sebesar itu tidak akan bisa bergerak se-inchipun. Jalan satu-satunya mungkin mencari bantuan terdekat. Kalau beruntung, mungkin saja akan ada bengkel di dekat sini.

“Atau kita cari bengkel di dekat sini saja, Pak?” tawaranku ini seketika mendapat pelototan kemudian gelengan kepala dari pak supir.

“Kenapa to, Pak?” Heran saja, apa pak supir ini tidak ingin busnya segera dibenahi? Lagipun, aku ingin cepat-cepat sampai di pekalongan. Seseorang telah menunggu untuk dijemput. Ban bocor ini benar-benar menyita waktu.

Selepas aku bertanya, pak supir langsung saja menarikku masuk dalam bus, ke bangku depan. Pintu bus ditutupnya, “Masnya ndak tau, ya?” tanya pak supir dengan raut wajah pias.

“Apa mas e ndak tau alas roban itu tempat kaya apa?” Tentu saja aku tau. Alas roban. Jalan raya yang dibangun dengan membelah kawasan hutan belantara. Penghubung antara Jawa Tengah dengan Jawa Barat. Dibangun pada masa penjajahan VOC, dahulu namanya jalan pos atau De Grote Postweg. Jalur ini sangat rawan akan kecelakaan sebab banyaknya tikungan dan tanjakan serta turunan terjal. Siapa yang tidak tau alas roban? Alas roban ini begitu terkenal. Jika bukan dari sejarah pembuatannya, maka dari rumornya yang mengatakan bahwa alas roban adalah kawasan angker.

"Memangnya, tempat kaya apa, Pak?" Iseng saja aku bertanya.

Belum sempat pak supir ini menjawab, tiba-tiba saja radio bus hidup. Pak supir yang kaget, langsung mematikan radio. Dari spion bus, kulihat penumpang masih nyenyak dengan tidur mereka. Tidak ada yang berbeda, cuma bangkuku di belakang yang semula kosong, kini sudah terisi. Ada bapak-bapak paruh baya yang tidur di sana, mungkin itu adalah penumpang lain yang pindah tempat duduk.

"Paling radionya eror, Pak." kataku kemudian. Pak supir ini menyeka keringatnya, lalu mengangguk ragu. Aku yang mau kembali menanyakan seangker apa alas roban ini, mengurungkan niat bertanya. Mungkin terdengar lebay seperti film horor di televisi. Tapi, entah, tiba-tiba saja, di depan bus muncul asap. Entah karena udaranya yang terlampau dingin, atau ada seseorang di luar sana yang sedang membakar sesuatu. Aku hendak turun. Memiliki jiwa penasaran yang luar biasa membuatku tidak bisa abai pada hal-hal di sekitar, hal sekecil apapun. Hampir saja aku turun, tapi pak supir kembali merlarangku, beliau menarik lenganku kuat hingga peganganku pada pintu bus terlepas.

"Mas e jangan aneh-aneh. Nanti penunggu alas roban marah, pura-pura ndak tau saja, Mas. Kita tunggu saja, sebentar lagi kan pagi to, pasti banyak mobil lewat, nanti baru minta tolong." Beliau hampir menangis. Mau tidak mau aku menuruti bapak ini untuk tidak turun memeriksa. Kulirik arlojiku, pukul tiga dini hari. Masih ada waktu sekitar dua jam. Kuputuskan untuk kembali ke bangkuku di belakang, dan tidur. Karena bangkuku di tempati orang, aku akan mencari bangku lain.

Pak supir kulihat sudah bergelung dengan sarungnya, ditutupi seluruh tubuh hingga muka.

Aku sekarang berdiri di tengah-tengah bus. Tidak ada tempat duduk ternyata. Padahal harusnya ketika satu orang pindah tempat duduk, maka akan ada tempat duduk lain yang kosong, kan? Kuperikasa sekali lagi, mana tau aku yang memang sangat mengantuk ini salah melihat dan melewati satu bangku yang kosong.

"Mau duduk, Le?" Yang bicara ini bapak paruh baya yang semula duduk di bangkuku. Beliau mengucek mata, tanda baru saja terbangun dari tidur.

"Iya, Pak. Bapak di situ saja, biar saya cari tempat duduk lain." ucapku sesopan mungkin sebab beliau ini terlihat seperti seorang pemuka agama. Sarung batik, baju putih dan kopiah hijau. Mana mungkin aku tidak sungkan terhadapnya.

"Busnya berhenti ya, Le?"

"Iya, Pak, ban bus bocor kata pak supir tadi. Lagi nunggu kendaraan lain lewat, mungkin nanti pagi baru jalan lagi." jawabku sesopan mungkin sambil berdiri.

"Sampean ini perjalanan mau ke mana dan mau apa, Le? Senyum tulus bapak ini membuatku teringat mendiang bapakku.

"Saya mau ke Ponorogo, Pak. Mau jemput rekan kerja saya di pesantren." Bapak ini tersenyum kembali, kemudian beranjak dari tempat duduk. Sebelum aku bertanya, beliau sudah lebih dulu menepuk-nepuk bahuku.

"Keberuntungan itu berkah dari Gusti Allah, Le. Bisa karena memang dijauhkan dari barang yang ndak baik, bisa juga karena memang punya pelindung." Aku tidak menyahut apapun, tidak mengerti apa yang dikatakan bapak ini.

"Selalu hati-hati ya, Le." Kalimat terakhir yang kudengar sebelum gelap memangsa pandanganku.

***

"Mas ...."

"Mas!"

Seorang pria yang bahunya diguncangkan supir bus ini tersetak bangun. Matanya linglung menatap sekitar.

"Di mana ini, Pak? Bukannya tadi ada di tepi hutan, ya?"

"Tepi hutan? Alas roban maksudnya?" Pria ini mengangguk.

"Ah, masnya jangan bercanda, kita ndak lewat jalur itu kok. Kita muter, lewat jalur tol. Lewat alas roban terlalu bahaya, banyak begal, Mas." ucap supir bus sembari tertawa lalu berlalu ke luar dari bus.

Pandangan pria ini kembali mengedar. Dia tidak salah ingat. Dia, penumpang lain, beserta bus yang ditumpangi tadi ada di tepi jalan kawasan alas roban, dan tiba-tiba saja sekarang dia terbangun dengan bus yang sudah terparkir di terminal. Pria ini terlalu faktual ketika melihat suatu kejadian. Bukannya dia tidak percaya setan, hantu, mistis, atau hal klenik lainnya. Hanya saja, dia selalu berpikir, semua yang tak terlihat, hakikatnya memang tidak untuk terlihat, dan semua yang terjadi pasti ada penjelasan logis yang bisa diterima indera juga akal.

Menolak apa yang telah terjadi pada dirinya, dan menganggap itu semua hanya bunga tidur  belaka, pria ini lantas mengambil ponsel di saku kemudian menghubungi seseorang.

"Assalamualaikum, ada apa, Ji? Seseorang di seberang langsung bersuara.

"Wassalamu'alaikum, Jan. Posisi di mana? Masih di pondok, kan? Aku udah nyampe Ponorogo ni." Sembari menelfon, pria ini turun dari bus lalu duduk di bawah pohon beringin kecil.

"Ya masih di pondok, to. Emang udah ada yang jemput? Kan belum. Gimana, sih." Suara di seberang terdengar merajuk. Aji, pria yang berteduh di bawah rindang beringin ini tertawa kecil, sejenak lupa kejadian aneh yang baru saja menimpanya.

"Udah siap berburu lagi?" Pria ini tertawa renyah.

"Siap dong. Berburu cerita di alas roban juga siap." Suara tawa gadis membuat si-penelfon merubah rautnya.

"Sial! Tau aja!"

___________________

Namanya Aji. Aji Saka Pramoedya. Seorang wartawan freelance atau pencari berita lepas. Berita yang dicari bukan sembarang berita. Berita yang dicari adalah berita misteri. Lupakan sejenak kenyataan bahwa Aji adalah orang ter-realistis yang pernah ada. Alasannya berprofesi sebagai pencari berita misteri, tak lain dan tak bukan adalah karena ia penasaran. Nalarnya selalu berkata, bagaimana mungkin sesuatu yang hakikatnya tidak bisa dilihat tapi banyak orang yang pernah melihat?

Tulisan-tulisan Aji dimuat di beberapa media, di blognya juga di surat kabar. Dan satu bulan yang lalu ia dikontrak oleh sebuah penerbitan surat kabar di Jakarta. Di sana ia mengisi kolom berita khusus untuk hari kamis, malam jum'at. Berita misteri, sebagai selingan berita-berita berat seperti politik, kejahatan, dan sebagainya.

Di penerbitan tersebut, Aji bekerjasama dengan seorang rekan kerja. Namanya Anjana. Anjana Mega. Seorang gadis yang ternyata adalah indigo. Gadis yang memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal yang semestinya tidak dapat dilihat dengan panca indera.

Ini kisah mereka berdua beserta perjalanan mereka sebagai pemburu berita misteri.


== bersambung ==

Jangan berkomentar kasar, ya

Salya's Note . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates