Doi

Posted by salyapualam on 07.41 in cerpen,

"Menikah berarti aku mengalah pada mimpi, asa, juga citaku."

"Menikah berarti aku harus mengubur dalam-dalam apa yang hendak aku capai pada titik tertinggiku."

"Menikah berarti aku harus berdamai dengan egoku, bahwa inginku tak selamanya akan tercapai."

"Menikah adalah satu masa dimana aku sudah menyerah dan siap untuk kalah."

Wanita di depanku ini tak henti-hentinya mengucap kata sakral itu berulang kali. Kata sakral yang dirangkai dalam kalimat yang pahit. Tak perlulah kuceritakan bagaimana aku mengenal rupa yang rupawan dengan pemikiran sekokoh karang ini. Aku sudah macam orang yang selalu berlagak pandai untuk bisa mendapatkan hatinya.

"Menikah berarti aku harus berhenti berjalan. Berhenti berlari. Dan berhenti bergerak."

"Kenapa begitu?" Ah, aku tak tahan untuk tak bertanya.

Dia berhenti bicara, berhenti mengaduk cokelat panasnya. Beralih menatapku.

"Aku takut menikah," cicitnya kemudian. Sudah serupa anak kucing saja.

"Menikah itu berarti harus melayani. Harus patuh. Harus tunduk." Aku mengangguk. Itu memang kodrat wanita yang telah menikah. Tapi..

Ah, aku tak tega. Mata besarnya itu mulai berkaca-kaca.

"Iya, menikah berarti memang harus patuh pada suami." Wanita ini malah semakin menunduk dalam, sudah terdengar isakannya samar-samar.

"Kalo suamimu mau kamu mengejar cita-citamu dan jangan menyerah ya, kamu harus nurut. Harus patuh." Suara isakannya malah jadi suara tangisan. Pengunjung kafe lain sampai melirik ke arahku, entah, beberapa berbisik pelan. Aku jadi merasa seperti lelaki buaya yang baru saja mematahkan hati seorang wanita.

"Laki-laki kaya gitu ga bakal ada di dunia."

"Ada. Siapa bilang tidak ada." Matanya terlihat mulai membengkak saat dia mengangkat wajahnya.

"Aku orangnya."

Wanita ini melotot.

"Mau menikah denganku?"

Wanitaku ini malah menangis semakin kencang kemudian menggigit tanganku yang bertengger di kepalanya.

Susah betul menaklukkan dia.