Palung Terdalam
Aku tak pernah mendengar namanya. Aku memang tidak mengenalnya. Tapi yang aku tau, dia selalu duduk di kursi panjang itu. Kadang dia menengadah ke langit. Kadang dia membenamkan kepala pada lututnya. Kadang dia tertawa. Kadang juga dia menangis. Walau pelan, tapi dapat kudengar tangis paraunya itu.
Pria itu selalu kemari saat fajar dan senja. Dari pakaian khas tentara yang dia pakai, aku tau dia seorang tentara. Aku mulai menerka. Mungkin, dia menengadah ke langit membayangkan akan bagaimana nanti hidupnya sebagai seorang tentara. Akankah dia bahagia? Mungkin, dia membenamkan kepala pada lututnya menyesali bahwa dia telah meninggalkan keluarganya. Anak dan istrinya. Mungkin saat dia tertawa, dia ingat kenangan lucu bersama rekan-rekan tentaranya. Atau mungkin dia menangis karena dia telah melihat rekan-rekannya tewas di depan matanya sendiri. Entahlah.
Yang aku tau, semenjak senja itu matanya selalu sayu.
Dia datang. Memakai seragam doreng kebanggaan seorang tentara dan tergantung senapan panjang di tangan kanannya. Pria itu berjalan pelan, muncul dari gundukan pasir di depan. Aku memperhatikan.
Pandangannya kosong dan sedikit bengkak, seperti habis menangis. Aku ada di depannya, tapi dia sama sekali tidak menatapku. Dia masih berjalan gontai. Terus berjalan, kemudian berpegangan pada kursi panjang itu. Dia duduk.
Aku masih memperhatikan.
Tidak ada suara darinya. Hanya terdengar desahan berat yang sesekali muncul seiring desiran kuat angin di sini. Dia tidak bersandar. Dia duduk dengan tegak pada kursi itu. Senapan masih lekat pada tangannya. Dia sepertinya enggan melepas senapan itu walau sekejap saja.
Aku semakin memperhatikan.
Ah, wajahnya terluka. Tepat di pelipis kanan dan di samping bibir kanannya terdapat bercak merah. Aku yakin itu darah. Aku tadi tidak sadar bahwa bajunya juga sangat kotor. Warna hijau sudah tercampur baur dengan warna cokelat tanah. Tunggu. Apa itu? Pada betis kaki sebelah kirinya basah. Apa itu juga darah? Habis tertembakkah dia?
Pria itu masih diam di sana. Duduk mematung dengan pandangan kosong. Walau sudah bengkak, matanya seperti ingin terus menangis. Tapi tidak ada air mata yang bisa ke luar dari sana. Pria malang. Kenapa dia seperti itu? Apa yang disesalinya?
Aku terus memperhatikannya. Ingin bertanya, tapi sungkan. Aku tidak mengenalnya.
“Bum!” Aku terkejut. Pria ini apa lagi, dia sudah menoleh ke belakang, berdiri. Matanya membelalak lebar. Itu tadi suara bom. Aku yakin, itu suara bom. Pria ini menggenggam erat senapan miliknya kemudian diisi dengan peluru yang dikantongkan di saku celananya. Pria tentara ini menegang. Dia sepertinya gugup. Banyak peluru yang jatuh karena dia tergesa-gesa memasukkan ke dalam senapannya.
Aku tidak berbuat apa-apa. Aku hanya memperhatikan.
“Bum!” Suara itu terdengar lagi. Aku sudah tidak lagi terkejut, begitupun pria di depanku ini. Setelah mengisi penuh peluru di senapannya, pria ini segera pergi. Berlari pelan dan mengendap di balik gundukan pasir. Segera hilang setelah dia melihat keadaan dengan memunculkan kepalanya sedikit ke atas gundukan pasir. Dia tidak berpamitan denganku. Dia bahkan tidak sadar aku ada di sini yang sedari tadi memperhatikannya.
Itu awal aku berjumpa dengannya. Selepas senja itu, dia semakin kerap kemari. Kembali, hanya duduk diam pada kursi panjang di depanku ini.
Ah, itu dia. Kurasa aku akan merindukannya kalau dia tidak lagi datang kemari. Kali ini dia kemari saat fajar. Mentari bahkan belum genap menampakkan dirinya. Tapi pria itu dengan gagah sudah muncul dari gundukan pasir. Dia berjalan pelan. Aku tau, dia menuju kursi panjang di depanku. Kulihat kali ini dia tidak memakai seragam doreng yang biasa dia pakai. Dia memakai kaos. Warna dongker berlengan pendek, cocok sekali dengan kulit cokelat eksotisnya. Tapi kulihat lagi celananya masih setia dengan celana doreng tentara yang biasa dia kenakan. Namun kali ini terlihat lebih bersih dari biasanya.
Pria itu duduk. Masih dengan mata sayu. Semakin sayu setiap kali datang kemari. Pandangannya juga masih tetap kosong, seperti biasa.
“Hah..” dia mendesah mengeluarkan suara. Aku terdiam, berhenti menilai penampilannya. Suara berat nan merdu itu membiusku. Suaranya indah.
Dia menunduk. Kulihat dia tengah memegangi sesuatu. Sesuatu itu dipeganginya erat, seerat ketika dia memegang senapan kesayangannya. Aku tidak tau itu apa. Aku hanya tau itu sebuah kotak. Aku tidak tau isinya. Dia tidak membukanya, hanya memeganginya erat hingga terlihat seperti memeluknya.
Kebiasaan wajibku, yakni hanya memperhatikannya. Tanpa berani bersuara.
Dia tiba-tiba bangkit dari duduknya, beralih berjalan mendekatiku. Ini sontak membuatku terkejut. Aku mundur perlahan ke belakang. Tapi sepertinya, dia masih belum sadar akan keberadaanku. Dia hanya mendekatiku, tanpa melihatku.
Aku masih diam memperhatikan. Tidak ingin mengganggunya.
Kali ini dia berjongkok. Kemudian menaruh kotak yang sedari tadi dia bawa di depannya. Sepertinya aku akan bisa melihat isi kotak itu dari sini. Dia mulai membuka kotak itu pelan. Kotak yang memiliki warna senada dengan warna bajunya. Mungkin, itu memang warna favorit pria ini.
Aku masih memperhatikan.
Kotak itu telah terbuka sempurna. Tutup kotaknya dia taruh di bawah kotak miliknya. Ah, itu foto? Aku bertanya dalam diam. Ada banyak kertas foto dalam kotak itu. Berpuluh-puluh mungkin, banyak sekali.
Dia mulai mengambilnya satu. Dari sini aku dapat melihat, itu fotonya. Tapi, dengan siapa? Dalam foto itu terlihat dia tengah menjentikkan jari telunjuk ke hidung seseorang. Seorang wanita. Wanita cantik berambut panjang hitam legam dengan dress putih bermotif bunga yang imut.
Itu siapa? Lagi-lagi aku bertanya dalam diam.
Dia masih suka diam. Foto wanita cantik yang aku tak tau itu siapa ditaruh di tangan kirinya, sementara tangan kanannya mengambil lagi foto yang lain dalam kotak itu. Dia tidak memilah-milah foto mana yang mau dia ambil. Dia mengambil satu foto acak dari puluhan foto itu.
Ah, itu masih fotonya. berdiri sendiri, tanpa siapapun dan terlihat lebih muda dari dirinya yang sekarang. Mungkin foto itu diambil beberapa tahun lalu. Menurutku dia dalam foto itu begitu keren. Sepertinya, badannya itu memang sudah atletis sejak dulu, terlihat jelas dari seberapa melekatnya baju yang dia pakai di foto itu. Dia masih diam, namun kali ini terdengar desahan darinya. Dia menatap lekat refleksinya itu, tapi dengan mimik wajah yang masih datar.
Kembali, dia menaruh foto dirinya pada tangan sebelah kiri lalu mengambil foto lain dengan tangan kanannya. Begitu seterusnya hingga kertas foto dalam kotak itu habis. Tangan kirinya sudah penuh dengan foto yang baru saja dia pandangi.
Bola matanya mulai bergerak. Dari menatap hampa ke depan beralih menatap foto-fotonya lagi. Kini dia menggenggam foto itu dengan kedua tangan. Erat sekali, membuat foto-foto itu menjadi lecek dan sedikit robek dibeberapa sisinya.
Tangan kanannya mulai bergerak ke atas. Gerakan awal untuk menyobek sesuatu.
Ah, jangan!
Aku tidak sadar, aku mendekatinya. Dan itu reflek membuatnya berhenti. Diam mematung seakan disadarkan dari sesuatu.
Dia masih diam, terkejut akan ulahku barusan. Tapi dia masih tidak melihatku, apalagi menatapku. Dia malah melamun, gerakan tangannya yang mau menyobek foto-foto itu tadi, terhenti.
Akupun masih tidak sadar kenapa aku menghentikannya tadi. Aku hanya merasa sayang pada kenangan-kenangan dalam foto itu jika harus dibuang begitu saja. Oh, apakah aku salah?
Dia masih diam, tidak tau kenapa malah terus melamun begitu. Itu membuatku tidak enak.
Baiklah, aku akan bertanya padanya.
Lalu, pelan. Kugulung ombakku mendekati kakinya. Kali ini aku sengaja.
Dia nampak terkejut, dan tersadar dari lamunannya. Dia melihatku. Oh bukan, dia menatapku. Lekat. Kini aku ada dalam bola matanya. Tangannya masih menggenggam erat foto-foto kenangan miliknya.
Dia masih menatapku. Entahlah, tapi dari sinar matanya mengatakan bahwa dia ingin aku bersuara. Ingin aku menjawab pertanyaannya, “Kenapa tadi kau hentikan aku?” Tapi aku diam, nyaliku jadi menciut ditatap seperti itu. Perlahan, aku malah mundur ke belakang.
Dia tak bergeming. Masih menatapku. Entah apa yang dicarinya dariku. Jawaban? Aku tak bisa memberikannya. Aku sedikitpun tak berani bersuara. Atau, dia merasa mengenalku? Hm, mungkinkah seperti itu? Hah, entahlah.
Kulihat dia masih belum beranjak menatapku. Masih diam mematung dengan berjongkok. Tangannya juga masih menggenggam foto-foto kenangan miliknya, namun tidak seerat tadi. Aku kasihan melihatnya.
Lalu, lagi. Kugulung ombaku. Kali ini bukan kearahnya. Aku menggulungnya ke atas, berharap itu dapat menghiburnya. Benar saja, ekor matanya mengikuti setiap gerak ombakku. Terus mengikuti, hingga akhirnya dia ....
Tersenyum? Dia tersenyum?
Ha-ha.. aku tertawa keras. Ombak semakin kugulung tinggi. Aku tidak percaya aku bisa membuatnya tersenyum, setelah selama ini dia hanya duduk diam dengan mata sayu pada kursi panjang itu.
Lama dia tersenyum ke arahku. Entah luapan rasa takjub akan keindahan ombakku atau rasa senang karena aku telah menghiburnya. Aku tidak pernah tau. Dia tidak mengatakan apapun. Sama sekali.
Dia berdiri. Gulungan ombakku sudah berhenti, aku lelah.
Dia melempar senyum manis ke arahku. Foto-foto kenangan miliknya sudah dia masukkan kembali ke dalam kotak yang dia bawa. Aku tidak tau apa alasannya, tapi dia tidak jadi merobek gambaran-gambaran kenangan miliknya itu.
Ah, lihat itu! Senyumnya melebar. Aku yakin, senyumnya melebar. Gigi-gigi putih nampak berbaris rapi di balik bibir tebal itu. Mempesona sekali.
Dia kembali menghembuskan nafas. Namun kali ini terdengar lembut. Aku tak tau aku yang salah dengar atau itu memang berasal darinya. Kudengar, tiba-tiba dia bersuara.
“Terima kasih.” bisiknya. Kemudian, dia melambaikan tangan padaku, tak lupa senyum manis itu masih terulur di bibirnya.
Akhirnya, dia pergi.
Begitu saja.
***
Kursi panjang itu kini kosong. Pria tentara yang kerap mengisinya tidak lagi datang. Ke mana? Aku tidak tau. Pria itu dulu datang ke sini sendiri. Tanpa siapapun, seorangpun. Dia membawa bebannya. Beban berat di pundaknya. Aku kini paham. Dia tidak menceritakan bebannya pada siapapun, termasuk juga padaku. Agaknya dia merasa bahwa itu adalah tanggung jawabnya. Sesuatu yang harus dipikulnya sendiri. Membentuk suatu palung kesendirian dalam hatinya sebagai akibat dari tanggung jawab besar yang dipikulnya.
Sedangkan aku, di sini masih diam. Juga masih sendiri. Aku akan terus mengamati kursi panjang di depanku itu. Terus menanti seseorang yang akan menempati dan berharap aku bisa menghibur seseorang itu lagi. Nanti.

Jangan berkomentar kasar, ya