Membina sepertinya memang sulit. Menyatukan dua ego milik manusia dalam bingkai yang bernama pernikahan. Banyak dari mereka yang percaya ikatan akan terus terjaga selama keduanya saling mengerti, saling memahami, saling menyayangi, dan saling mencintai. Ya. Selama itu. Tapi tak pernah diperjelas lamanya itu sampai berapa lama.

Prang

Satu buah piring menghempas lantai, tepatnya dihempaskan. Suasana begitu mencekam, sepertinya bukan pasal mereka yang tak mengerti satu sama lain. Namun pasal mereka yang mendahulukan ego satu sama lain.“

"Sudah kubilang, aku tidak main api dengan wanita manapun!" Bentakannya menggema seisi rumah, mengabaikan dua anak kecil yang menangis dengan meringkuk di bawah meja makan.

“Kau selingkuh, Mas! Kau selingkuh! Aku melihat sendiri dengan kedua mataku!” Suara wanita ini pun tak kalah keras, tepatnya enggan mengalah pada pria yang selama delapan tahun ia sebut sebagai suami.

Pria ini menyugar rambut kasar, tangannya terangkat hendak memukul wanita yang selalu ia panggil sayang. Namun terhenti. Ini seperti bukan kehendaknya. Dia nampak bingung, mungkin batinnya mulai menyangsikan bahwa dia tidaklah salah. Hingga lagi, satu piring menjadi pelampiasannya. Pecah di lantai, dan serpihan piring itu mengenai salah satu anak kecil yang sesenggukan dalam diam.

Sebenarnya tidak ada yang salah pada makan malam tadi. Seorang ibu dengan dua anak duduk bahagia di meja makan. Mereka menunggu sang ayah. Tak selang berapa lama, pria tulang punggung keluarga ini datang. Tersenyum lebar tatkala melihat keluarga kecilnya sudah menunggu dia di meja makan.

Tak ada yang salah, sampai entah karena takdir Tuhan atau kesengajaan manusia lain, wanita yang juga sebagai istri dan ibu ini mendapati bercak merah muda pada lengan bahu kanan suaminya. Bercak berbentuk bibir. Rautnya seketika berubah. Marah? Sepertinya tidak. Wanita ini sudah lebih dari terbiasa melihat hal ini. Lalu? Bahagia? Jangan bercanda, rautnya sama sekali jauh dari kata bahagia.

 “Berapa kali kukatakan! Aku tak pernah menghianatimu! Tak pernah!” Pria ini terus saja berteriak, inginkan kepercayaan istrinya. Atau malah inginkan kemenangan dirinya?

Wanita ini menjerit. Berjongkok dengan menutup kedua telinga rapat. Mungkin kelebatan ingatan buruk itu kembali menghampiri. Kala ia melihat kekasih halalnya pulang bersama jalang yang hampir seperti tak berbusana. Bau alkohol menguar dari mulut suaminya. Kejadian itu benar-benar membuat dia ingin meledak, apalagi ditambah perkataan jalang itu,

“Suamimu kuat sekali,” ucapnya dengan senyum yang dibuat sensual.

Paginya, sang suami bangun. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju dapur dan bertanya apa yang terjadi padanya. Namun aneh, sang istri justru hanya tersenyum dan katakan tidak terjadi apa-apa.

 “Mas, aku lelah,” ucap wanita ini dengan suara parau dalam posisi masih berjongkok dan menutup kedua telinganya. Sang suami sama sekali tak menggubris. Ia kembali menyugar rambut dengan kasar, wajahnya pun begitu syarat dengan kata lelah. Mungkin hal ini ada hubungannya dengan sesuatu yang pernah ia tulis di blog pribadinya,

Aku tak pernah paham apa ingin dari istriku sendiri. Delapan tahun pernikahan dengan dua anak sepertinya belum cukup bagiku memahami dirinya. Dia tak pernah katakan apa yang ia mau, tak pernah katakan apakah dia marah terhadap sesuatu, bahkan sama sekali tak pernah katakan alasan mengapa ia merajuk atau bahkan marah padaku. Tak pernah.

Hubungan itu rentan bagai kaca. Kalau tak dijaga dengan baik, bisa saja retak atau bahkan pecah. Tapi, seperti layaknya kaca kebanyakan, itu memantulkan. Pantulan dari refleksi dirimu sendiri.

“Aku juga lelah. Kau pikir, tanpa kau membicarakannya aku akan langsung tau apa maumu? Dewasalah, kau perlu belajar,” Lirih pria ini berkata, lalu pergi meninggalkan rumah. Mungkin ingin mencari angin segar dan enggan memperpanjang masalah.

Hening.

Begitu mengetahui suaminya pergi, wanita ini berdiri dan pergi ke kamarnya, entah untuk apa. Menangis barangkali? Kepergiannya ini menyisakan dua anak manusia yang masih kecil di ruang makan. Dua bocah laki-laki kembar berusia sekitar empat tahun yang sedari tadi menangis tertahan. Suara mereka jelas kalah dengan suara kedua orang tuanya, atau dengan suara bantingan piring. Hanya mereka yang saling mendengar tangisan satu sama lain.

Yang satu, mengusap air mata yang masih menyisa di pipi saudaranya. Satunya lagi, membenahi rambut saudaranya. Mereka saling melindungi, entah dari apa.

Selang beberapa lama, ibunya keluar dari kamar. Berjalan gontai menuju ruang makan. Menatap kosong dua anaknya yang sudah keluar dari kolong meja makan. Ia lalu meraih sapu, menyapu pecahan piring hasil dari pertengkaran tadi. Tanpa sepatah katapun mengeluarkan suara.

Dua anak itu, entah akan menjadi seperti apa kelak. Apakah akan sekasar seperti apa yang telah mereka indera? Atau serapuh layaknya piring yang berserakan di lantai? Pada akhirnya, mereka dipaksa mengindera apa yang sepantasnya tidak mereka indera.

“Nak, kemari!” Sang ibu memanggil. Ragu, dua anak itu melangkah ragu. Binar matanya sedikit memancar kekhawatiran dan ketakutan. 

“Ayo makan dulu, tadi kalian tidak sempat makan, kan?” ucap ibunya datar. Sang ibu mendudukkan dua anaknya di kursi, lantas menyuapi mereka berdua. Ibunya menyuapi dengan cepat. Secepat suapannya, secepat itu pula kedua anak itu menelan makanannya.

Hoek! Satu di antara mereka berdua muntah, mengeluarkan seluruh isi perut beserta makanan yang baru saja ia makan. Ibunya hanya melihat. Terus melihat, hingga anak yang kedua pun sama. Mereka memuntahkan makanan mereka. Lalu, tak butuh waktu lama, dari mulut mereka mengeluarkan buih putih, tubuh mereka kejang, hingga lama-kelamaan membiru.

Satu desahan napas keluar dari wanita ini setelah melihat kedua puteranya tak lagi mengejang.

“Tidur dengan tenang ya, Nak! Ibu tidak mau kelak kamu seperti ayahmu, yang bisanya hanya menyakiti hati ibu!” Suaranya meninggi, kemudian disusul tawa melengking yang seperti bukan dirinya.

Wanita ini beralih menatapku, lantas tersenyum,

“Kau harus cari majikan baru ya, Puss,” katanya bersamaan dengan tangan kanannya yang menekan kuat nadi kiri menggunakan pisau.

Aku mengeong, entahlah, mungkin hanya sekedar memastikan apa ketiga anak manusia ini benar-benar mati dengan cara seperti ini. Dan, sepertinya, memang iya.

Yah, kalau begitu aku harus mencari majikan baru setelah ini. Kemudian kembali melihat cerita baru dari anak manusia lainnya.


-- End —

by. Salya Pualam | November 2019